Radikalisme keagamaan merupakan tantangan global yang memerlukan strategi multidimensional. Di satu sisi, remaja di usia sekolah yang sedang mentransformasikan diri cenderung rentan terhadap narasi ekstrem karena kebutuhan psikososial seperti pencarian makna dan identitas. Di sisi lain, sekolah sebagai institusi pendidikan formal memiliki potensi strategis untuk menjadi benteng ideologis yang kokoh, asalkan ditopang oleh pendidikan agama Islam moderat dan sinergi dengan metodologi yang kuat guna menangkan radikalisasi.
Remaja secara psikososial berada dalam fase identity vs. role confusion (Erikson), di mana mereka aktif mencari makna hidup dan identitas. Kelompok radikal, baik lokal maupun transnasional, memanfaatkan celah ini dengan menawarkan narasi heroik dan cepat memberi makna yang seringkali membingkai “jihad” secara sempit, tanpa dimensi kasih sayang dan toleransi. Studi Silber dan Bhatt menunjukkan banyak individu radikal memiliki pendidikan menengah hingga tinggi menyanggah stereotip bahwa radikalisme hanya tumbuh di kalangan yang tidak berpendidika. Hal ini memperkuat urgensi intervensi dini di lingkungan sekolah menengah.
Secara global, sekolah menjadi sasaran kelompok ekstrem. Organisasi seperti ISIS dan al-Shabaab menyasar siswa dan mahasiswa melalui media sosial atau pendekatan langsung. Dalam kasus Kenya, seorang guru di Nairobi menggunakan kelas studi Islam untuk membuka diskusi kritis tentang apa itu ‘radikalisasi’ memperlihatkan pentingnya dialog terbuka dalam ruang pendidikan.
Internalisasi Moderasi Beragama dalam Konteks Pendidikan Formal
Pendidikan agama Islam yang moderat ialah yang berakar pada nilai wasathiyah (keseimbangan) dan rahmatan lil ‘alamin. Hal ini menjadi landasan strategi penangkal. Di Andalusia (Spanyol), kewajiban pendidikan agama Islam dalam kurikulum nasional telah menjadi instrumen penting mencegah penyebaran ekstremisme. Sementara itu, inisiatif interreligious literacy di institusi tinggi Islam di Indonesia memperluas pendekatan keadaban, membekali mahasiswa dengan pemikiran plural serta kemampuan kritis terhadap narasi eksklusif. Di ranah akademik global, model pendidikan moderat tidak hanya berhenti di nilai-nilai tekstual, melainkan mengedepankan metode dialog kritis, inklusivitas, dan analisis ideologis. Sebagai contoh, pendekatan interreligious literacy di kampus Islam yang melibatkan pertukaran mahasiswa internasional membantu meningkatkan pemahaman antar-agama dan membangun ketahanan kultural terhadap radikalisme

Penguatan Nilai-nilai Moderasi
Indonesia memiliki modal kuat berupa mayoritas Muslim yang menganut Islam moderat (Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas lain). Namun, tantangan tetap ada: radikalisme digital, penyebaran ideologi transnasional, dan segregasi sosial. Oleh sebab itu, sekolah perlu melakukan transformasi kelembagaan, kurikulum, serta kultur belajar.
Penguatan Kurikulum Moderasi Beragama Sekolah harus memasukkan nilai wasathiyah (keseimbangan) dalam setiap mata pelajaran, bukan hanya Pendidikan Agama Islam. Misalnya, pelajaran sejarah bisa menampilkan tokoh Islam Nusantara yang membangun bangsa dengan damai. Kurikulum perlu menekankan fiqh al-ta‘ayush (fiqh hidup berdampingan). Hal ini penting untuk menginternalisasi Islam sebagai rahmat bagi semua, bukan eksklusif untuk kelompok tertentu. Program seperti di Jerman dan Austria, yang menggunakan pendidikan Islam untuk integrasi sosial, dapat diadaptasi untuk konteks multikultural Indonesia.
Literasi Digital dan Filter Radikalisme Online Mengingat sebagian besar siswa terpapar paham ekstrem melalui media digital (LIPI, 2020), sekolah harus mengembangkan kurikulum literasi digital berbasis agama. Guru perlu dilatih untuk mengajarkan cara kritis menilai konten keagamaan online, membedakan tafsir moderat dan ekstrem. Bisa diadaptasi model digital counter-narrative yang telah diuji di Eropa dan Kenya: bukan hanya melarang, tetapi melawan dengan narasi Islam yang sejuk dan positif.
Keterlibatan Orang Tua melalui Program Parenting Islami Mengadopsi konsep Mothers Schools di Austria/UK, sekolah di Indonesia bisa membuat Sekolah Orang Tua. Program ini membekali orang tua, khususnya ibu, untuk mengenali tanda-tanda anak yang mulai terpapar radikalisme. Pendekatan ini cocok dengan budaya Indonesia yang sangat menekankan peran keluarga.
Kelas Dialog dan Simulasi Keberagaman Sekolah perlu menyediakan ruang diskusi bebas, bukan indoktrinasi satu arah. Remaja ingin didengar, sehingga dialog interaktif akan jauh lebih efektif daripada ceramah. Praktik di Kenya menunjukkan bahwa ketika guru membuka ruang tanya jawab tentang jihad, syariat, dan politik global, siswa merasa mendapatkan jawaban yang valid sehingga tidak mencari di internet atau kelompok tertutup. Di Indonesia, bisa diintegrasikan dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti Rohis, agar menjadi inklusif dan terbuka, bukan eksklusif.
Kesimpulan
Menangkal radikalisme di usia sekolah tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan membutuhkan strategi komprehensif yang berbasis ilmu, kebijakan, dan pengalaman global. Institusi pendidikan harus mengadopsi pendidikan agama Islam yang moderat dengan pendekatan dialogis, sinergi antara keluarga–sekolah–lembaga, serta inspirasi dari praktik internasional seperti pendidikan agama integratif di Spanyol dan Jerman, model dialog kritis di Kenya, hingga inisiatif Mothers Schools di Eropa yang membekali orang tua untuk mengenali potensi radikalisasi sejak dini. Sekolah di Indonesia tidak cukup hanya berhenti pada pengajaran agama secara tekstual, melainkan harus memperkuat pendekatan moderasi beragama, literasi digital, keterlibatan orang tua, ruang dialog terbuka, serta integrasi nilai kebangsaan dalam kehidupan sehari-hari siswa. Dengan demikian, sekolah dapat berfungsi bukan sekadar sebagai ruang transfer ilmu, melainkan juga sebagai arena pembentukan kesadaran ideologis yang moderat, humanis, kritis, dan kontekstual. Sebagaimana tercermin dalam dokumen-dokumen fiqh global seperti Makkah Document (2006) dan Madinah Declaration (2018), pendidikan Islam yang berpijak pada nilai rahmatan lil ‘alamin adalah benteng utama menghadapi ekstremisme. Indonesia, dengan segala kekayaan tradisi Islam Nusantara, dapat mengintegrasikan praktik terbaik global dengan kearifan lokal untuk membangun masa depan generasi muda yang tangguh secara ilmiah sekaligus spiritual.