Keluarga sakinah bukan sekadar harapan, tapi bisa diwujudkan… Konsultasi sekarang →

Moderasi Beragama di Kawasan Plural: Perspektif Contact Theory, Social Capital, dan Civic Networks

pexels

Jakarta Utara khususnya wilayah Penjaringan, merupakan salah satu kawasan urban dengan tingkat pluralitas tinggi. Keberagaman etnis, budaya, dan agama terlihat dalam kehidupan sehari-hari: dari interaksi pedagang di pasar hingga kegiatan sekolah dan pekerjaan warga, hingga ruang publik seperti musala, gereja, dan balai komunitas. Keberagaman ini menghadirkan peluang strategis bagi pembangunan sosial, sekaligus tantangan dalam menjaga harmoni dan mencegah konflik. Dalam konteks ini, moderasi beragama menjadi isu penting. Moderasi beragama, sebagaimana dicanangkan oleh Kementerian Agama, bukan sekadar retorika normatif, tetapi harus diwujudkan melalui praktik sosial yang konkret: toleransi, kerja sama lintas komunitas, dan penguatan kohesi sosial. Keberhasilan program ini sangat bergantung pada kualitas interaksi sosial, jaringan kepercayaan, dan keterlibatan warga dalam ruang publik. Penelitian ini menggunakan tiga perspektif utama dalam ilmu sosial Contact Theory, Social Capital, dan Civic Networks untuk menganalisis moderasi beragama di kawasan plural. Perspektif ini akan membantu memahami bagaimana masyarakat bisa hidup berdampingan secara damai, sekaligus memberikan dasar bagi rekomendasi kebijakan yang kontekstual dan realistisPerspektif

Contact Theory: Interaksi Lintas Kelompok sebagai Jalan Harmoni

Contact Theory diperkenalkan Gordon Allport (1954), menyatakan bahwa interaksi antar-kelompok yang berbeda dapat mengurangi prasangka jika memenuhi beberapa kondisi: kesetaraan status, tujuan bersama, dan dukungan norma sosial. Interaksi yang memenuhi kondisi ini cenderung menumbuhkan pemahaman, empati, dan pengurangan stereotip negatif. Di Penjaringan, interaksi lintas agama dan etnis terjadi secara alami: Pasar tradisional menjadi tempat warga saling bertukar jasa dan barang, misalnya pedagang Muslim yang bekerja sama dengan pedagang Tionghoa Kristen. Sekolah dengan siswa dari berbagai agama menghadirkan kesempatan belajar bersama, memahami perbedaan ritual atau budaya. Proyek lingkungan seperti gotong royong penanganan banjir atau pembersihan selokan menghadirkan tujuan bersama yang memperkuat kerja sama antar-warga. Contoh konkret: di RW 02 Penjaringan, warga dari berbagai agama bekerja sama mengelola sumur komunitas dan bank sampah. Aktivitas ini tidak hanya menumbuhkan rasa saling percaya, tetapi juga memperkuat empati antar kelompok yang berbeda. Penulis melihat, tantangan muncul ketika interaksi tidak dikelola dengan baik. Misalnya, jika terjadi diskriminasi ekonomi, dominasi kelompok mayoritas, atau stereotip negatif yang tersebar melalui media sosial, perjumpaan bisa berubah menjadi konflik simbolik. Oleh karena itu, program moderasi beragama Kemenag perlu memastikan interaksi sosial terjadi dalam kondisi yang setara, terstruktur, dan inklusif, misalnya melalui forum dialog komunitas, pelatihan guru dan tokoh masyarakat, atau kegiatan kolaboratif yang dirancang dengan prinsip kesetaraan.

Social Capital: Jaringan Kepercayaan sebagai Modal Sosial

Social Capital sebagaimana dijelaskan Putnam (2007), menekankan pentingnya kepercayaan, norma sosial, dan jaringan sosial dalam membangun masyarakat yang kohesif. Dalam konteks pluralitas, modal sosial hadir dalam dua bentuk: Bonding social capital: penguatan hubungan dalam kelompok homogen, misalnya kelompok warga dari satu agama yang rutin melakukan kegiatan ibadah dan sosial. Bridging social capital: penghubung antar kelompok berbeda, misalnya kolaborasi antara warga Muslim dan Kristen dalam proyek sosial. Di Penjaringan, bridging social capital sangat krusial. Contohnya: warga dari berbagai agama dan etnis berkolaborasi dalam pengelolaan posyandu anak, kegiatan pendidikan nonformal, atau mitigasi bencana lokal. Pengalaman ini menumbuhkan kepercayaan lintas kelompok, memperkuat rasa kebersamaan, dan menekan potensi intoleransi. Penulis melihat bahwa program moderasi beragama Kemenag sudah mendorong bonding dan bridging, namun perlu penekanan lebih kuat pada proyek nyata berbasis komunitas. Misalnya: Forum lintas agama yang tidak sekadar bertemu secara simbolik, tetapi menghasilkan proyek konkret: taman bermain bersama, bank makanan, atau pos kesehatan lingkungan. Program kepemimpinan pemuda lintas agama yang melatih generasi muda untuk menjadi mediator sosial di komunitasnya. Dengan cara ini, bridging social capital tidak hanya menjadi teori, tetapi diwujudkan dalam praktik yang menguatkan harmoni sosial.

Civic Networks: Partisipasi Warga dalam Ruang Publik

Civic Networks menekankan keterlibatan warga dalam organisasi masyarakat sipil, komunitas lokal, atau forum kemasyarakatan sebagai sarana memperkuat toleransi dan kohesi sosial (UNDP, 2020). Partisipasi aktif ini menjadikan individu merasa memiliki komunitas, meningkatkan kepedulian, dan menekan penyebaran intoleransi. Di Penjaringan, berbagai organisasi masyarakat, seperti karang taruna, posyandu, dan forum pemuda lintas agama, berperan dalam: Menyalurkan aspirasi warga dan menyelesaikan konflik lokal sebelum meluas. Mencegah disinformasi yang dapat memicu prasangka atau stereotip negatif. Membangun solidaritas dalam menghadapi tantangan sosial, seperti banjir, pandemi, atau masalah pendidikan. Contoh konkret: program Relawan Moderasi Beragama yang digagas Kemenag di Jakarta Utara melibatkan warga lokal untuk menjadi fasilitator dialog komunitas. Relawan ini tidak hanya menanamkan nilai toleransi, tetapi juga menjadi “jembatan” antara kebijakan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Penulis menekankan bahwa semakin luas jaringan civic networks, semakin besar peluang terciptanya ruang publik inklusif yang resilien terhadap polarisasi. Oleh karena itu, kebijakan moderasi beragama sebaiknya tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga memberikan dukungan nyata pada kapasitas organisasi masyarakat lokal.

Kesimpulan

Analisis dari ketiga perspektif menunjukkan bahwa moderasi beragama di kawasan plural seperti Penjaringan membutuhkan pendekatan multidimensi dan praktis: Contact Theory: Menekankan pentingnya perjumpaan lintas kelompok yang setara dan inklusif. Social Capital: Memperkuat jaringan kepercayaan antar komunitas melalui proyek sosial nyata. Civic Networks: Mendorong partisipasi warga dalam ruang publik untuk menumbuhkan toleransi dan solidaritas. Penulis berpendapat bahwa program moderasi beragama Kemenag sejauh ini sudah memberikan arah yang positif, tetapi keberhasilan jangka panjang membutuhkan penguatan praktik sosial di tingkat lokal, bukan hanya program normatif. Dengan sinergi ketiga aspek—interaksi yang berkualitas, modal sosial lintas komunitas, dan jaringan sipil yang aktif Penjaringan dapat menjadi contoh kawasan urban plural yang harmonis, damai, dan resilien terhadap intoleransi. Pendekatan ini menunjukkan bahwa moderasi beragama bukan sekadar instruksi pemerintah, tetapi menjadi strategi sosial yang hidup dalam keseharian masyarakat, di mana warga lokal menjadi agen moderasi aktif, saling membangun toleransi, dan memperkuat fondasi kebangsaan.

Bagikan:

Tes Sikap Keagamaan

Artikel Lainnya

Informasi Kegiatan